Sintang, Kalbar - Proyek Raksasa pembangunan Sintang Central Bisnis Distrik (SCBD) yang berada dikomplek my home kota Sintang, Kalimantan Barat langgar aturan tata ruang kawasan bantaran sungai alay kelurahan ladang kecamatan Sintang, hal tersebut setelah tim investigasi LSM Somasi dan Tim media menemukan fakta mengejutkan dilapangan, pada Selasa (2/11/2025).
Tim Investigasi LSM Somasi dan tim melakukan penelusuran dilapangan yang dimulai dari muara sungai alay di sungai Melawi dan sampai kehulu ke arah titik lokasi proyek SCBD untuk memastikan arah jalur sungai alay dan sangat mengejutkan karena aliran sungai alai telah ditutup dan ditimbun untuk proyek SCBD, serta pembangunan tersebut juga dibibir aliran Sungai yang sudah dialihkan dibuat parit kecil.
Ani sapaan salah satu warga kelurahan kampung ladang yang bermukim di bantaran sungai alay, tepatnya dibelakang proyek SCBD saat diwawancarai wartawan mengatakan bahwa sangat tersiksa karena sehari-hari mengunakan air tersebut untuk kebutuhan rumah tangga, jadi air tersebut sudah sangat tidak layak sekali di konsumsi, karena sudah kotor oleh limbah maupun tanah pekerjaan proyek tersebut, keluhnya pada tim dan awak media.
"Mohonlah kami orang kecil yang kena dampak ini diperhatikan dan jangan hanya mikirkan untung saja, kami harapkan pemerintah kabupaten Sintang turun ke lapangan lihat keadaan kami orang kecil ini yang tidak punya duit buat sumur bor" pintanya pada bupati Sintang.
Sementara itu Arbudin ketua LSM Somasi saat berada dilapangan menyampaikan bahwa temuan fakta lapangan ini akan segera membuat dan menyusun laporan untuk ditindaklanjuti, Karena faktanya berbeda dengan surat yang disampaikan oleh Dinas Lingkungan Hidup kabupaten Sintang kepada LSM Somasi yang mengatakan bahwa bukan sungai yang ditimbun tapi memang asal tanah kering dan bukan aliran sungai, oleh karena itu untuk membuktikan surat lingkungan Hidup kabupaten Sintang, maka perlu dilakukan cek langsung di lapangan., terang Arbudin.
Sebagaimana diketahui adanya penutupan anak sungai dinilai melanggar UU Lingkungan hidup, dimana penutupan anak sungai secara ilegal diatur dalam Pasal 60 dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Pelanggaran Pasal 60 dapat dikenai pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar.
Pelanggaran Pasal 75 yang berkaitan dengan penutupan sungai tanpa izin dapat dikenai sanksi administratif seperti teguran, pembekuan izin, atau pencabutan izin.
Berikut adalah penjelasan lebih detail:
1. Pasal 60 UU PPLH:
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Ini mencakup kegiatan yang dapat mencemari atau merusak lingkungan, termasuk penutupan anak sungai yang dapat mengganggu aliran air dan ekosistem. Pelanggaran pasal ini dapat dikenai pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000.
2. Pasal 75 UU PPLH:
Setiap orang wajib mematuhi ketentuan tata ruang dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan kegiatan yang dapat berdampak terhadap lingkungan. Ini termasuk kegiatan seperti pembangunan atau penutupan sungai yang dapat mengubah aliran air dan mempengaruhi ekosistem. Pelanggaran dapat dikenai sanksi administratif.
3. Sanksi Administratif:
Sanksi administratif dapat berupa teguran tertulis, pembekuan izin, pencabutan izin, atau bahkan paksaan pemerintah (bestuursdwang) untuk menghentikan kegiatan yang melanggar peraturan.
4. Sanksi Pidana:
Selain sanksi administratif, pelanggaran yang lebih serius dapat dikenai sanksi pidana. Misalnya, jika penutupan anak sungai menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan, pelanggar dapat dikenai pidana sesuai dengan pasal-pasal yang terkait dengan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.
Penutupan anak sungai secara ilegal dapat berdampak negatif pada lingkungan, termasuk:
Gangguan aliran air:
Penutupan sungai dapat mengganggu aliran air, menyebabkan banjir, kekeringan, atau bahkan mengeringnya sungai, terang Arbudin. (tns/tim)
إرسال تعليق