Ketua LSM Somasi Soroti Pembangunan SCBD Kota Sintang langgar UU Lingkungan Hidup

Sintang, Kalbar - Kota Sintang merupakan pusat bisnis di wilayah Timur Kalimantan Barat, yang digadang-gadang calon ibukota provinsi Kapuas Raya yang sangat menjanjikan karena perekonomian terus berkembang sangat pesat, Faktor ini disebabkan posisi Kota Sintang sangat strategis, sehingga posisi ini menjadikan Kota Sintang terus maju dan berkembang serta dilirik berbagai investor untuk berpartisipasi dalam memacu pertumbuhan perekonomian.

Salah satunya adalah Pembangunan Sintang Central Business District (SCBD) di pusat Kota Sintang oleh pihak Investor. Pada awalnya dalam tahap sosialisasi pembangunan SCBD disambut antusias oleh masyarakat dan ini didukung secara penuh oleh Pemkab Sintang.

Namun akhir-akhir ini pada tahap awal pelaksanaan terdapat berbagai suara yang mempertanyakan proses pembangunan SCBD tersebut.

Media mendapat info bahwa ada pengaduan langsung yang disampaikan masyarakat kepada Arbudin, Ketua LSM Somasi. Ketika media mengkonfirmasi kepada Arbudin hal tersebut dibenarkannya.

"Iya, kita telah menerima pengaduan langsung dari masyarakat dan hal ini akan kita tindak lanjuti dengan serius" kata Arbudin.

Untuk sementara kita akan bentuk Tim investigasi dan melakukan koordinasi dengan instansi terkait, lanjut Arbudin.

Pengaduan masyarakat terutama terkait penutupan anak sungai di kawasan pembangunan SCBD dan beberapa hal lainnya, karena SCBD sempat melakukan timbunan di bantaran Sungai tersebut, sehingga dampak dari kegiatan proyek tersebut sangat dirasakan oleh Kelurahan Tanjung Puri, Ladang, dan Baning, terutama pada aspek drainase. kata Arbudin.

Kemudian Dasar awal adalah potret satelit dikombinasikan dengan potret medan dari Google Map (foto terlampir).
                Peta satelit 

Sebagaimana diketahui adanya penutupan anak sungai dinilai melanggar UU Lingkungan hidup, dimana penutupan anak sungai secara ilegal diatur dalam Pasal 60 dan Pasal 75 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Pelanggaran Pasal 60 dapat dikenai pidana penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar.

Pelanggaran Pasal 75 yang berkaitan dengan penutupan sungai tanpa izin dapat dikenai sanksi administratif seperti teguran, pembekuan izin, atau pencabutan izin.

Berikut adalah penjelasan lebih detail:
1. Pasal 60 UU PPLH:
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin. Ini mencakup kegiatan yang dapat mencemari atau merusak lingkungan, termasuk penutupan anak sungai yang dapat mengganggu aliran air dan ekosistem. Pelanggaran pasal ini dapat dikenai pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000.

2. Pasal 75 UU PPLH:
Setiap orang wajib mematuhi ketentuan tata ruang dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan kegiatan yang dapat berdampak terhadap lingkungan. Ini termasuk kegiatan seperti pembangunan atau penutupan sungai yang dapat mengubah aliran air dan mempengaruhi ekosistem. Pelanggaran dapat dikenai sanksi administratif.

3. Sanksi Administratif:
Sanksi administratif dapat berupa teguran tertulis, pembekuan izin, pencabutan izin, atau bahkan paksaan pemerintah (bestuursdwang) untuk menghentikan kegiatan yang melanggar peraturan.

4. Sanksi Pidana:
Selain sanksi administratif, pelanggaran yang lebih serius dapat dikenai sanksi pidana. Misalnya, jika penutupan anak sungai menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan, pelanggar dapat dikenai pidana sesuai dengan pasal-pasal yang terkait dengan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.

Penutupan anak sungai secara ilegal dapat berdampak negatif pada lingkungan, termasuk:
Gangguan aliran air:
Penutupan sungai dapat mengganggu aliran air, menyebabkan banjir, kekeringan, atau bahkan mengeringnya sungai.

Untuk sementara langkah yang kita tempuh adalah investigasi lapangan bersama Tim dan melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait, tutup Arbudin. (tns/tim)

Post a Comment

أحدث أقدم